Akikah dan kurban, mana yang lebih didahulukan?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa akikah maupun kurban hukumnya sunah muakkad (yang sangat ditekankan). Disebutkan dalam riwayat Muslim dari sahabat Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره
“Apabila kalian melihat hilal bulan dzulhijah dan kalian hendak berkurban maka jangan menyentuh rambut dan kukunya.”
Kalimat: ‘hendak berkurban’ menunjukkan bahwa kurban hukumnya sunah dan tidak wajib.
Berdasarkan hal ini, yang terbaik adalah seseorang melaksanakan kedua sunah tersebut bersamaan. Karena keduanya dianjurkan untuk dilaksanakan. Jika tidak mampu melakukan keduanya dan waktu akikah berbeda di selain hari kurban, maka hendaknya mendahulukan yang lebih awal waktu pelaksanaannya. Akan tetapi jika akikahnya bertepatan dengan hari raya kurban, dan tidak mampu untuk menyembelih dua ekor kambing untuk akikah dan satunya untuk kurban, pendapat yang lebih kuat, sebaiknya mengambil pendapat ulama yang membolehkan menggabungkan akikah dan kurban. Allahu a’lam
Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih, fatwa no. 44768
Hukum Qurban
Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata,”Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)
Sebagian mujtahidin –seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan sebagian pengikut Imam Malik– mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah) (Matdawam, 1984).
Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) –yaitu sandang, pangan, dan papan– dan kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban (Al Ja’bari, 1994) .
Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (TQS Al Kautsar : 2).
أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah.”(HR.At-Tirmidzi)
كُتِبَ عَلَيَّ النَّحْرُ وَ لَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْكُمْ
“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” (HR. Ad Daruquthni)
Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi “wanhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi’li). Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun lakum” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni “kutiba ‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).
Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلا نا
“Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)
Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang -yang tak berqurban padahal mampu– untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’) seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn Khalil, Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).
Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW :
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلا يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya. Barangsiapa yang bernadzar untuk kemaksiatan kepada Allah, maka janganlah ia melaksanakannya.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, al-Tirmidzi).
Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata,”Ini milik Allah,” atau “Ini binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).
#Ingin berlangganan Tausiyah Harian dari Team Tasdiqul Quran
📲#Daftar via WhatsApp
🔗
📲#Gabung via Telegram
🔗 t.me/TN_TASQ
📌 Informasi Program dan Link Media Sosial… www.tasdiqulquran.or.id/social-media/
Untuk Informasi Lengkap Situs Resmi Kami di :
www.dompetamal.com
www.news.dompetamal.com
www.tasdiqulquran.or.id