1) MILIK PENUH (Secara Individu)
Yaitu harta tersebut adalah milik di tangan individu dan tidak berkaitan dengan hak orang lain, atau harta tersebut disalurkan atas pilihannya sendiri dan faedah dari harta tersebut dapat ia peroleh.[5]
Dari sini, apakah piutang itu terkena zakat? Pendapat yang tepat dalam hal ini, piutang bisa dirinci menjadi dua macam:
1). Piutang yang diharapkan bisa dilunasi karena diutangkan pada orang yang mampu untuk mengembalikan. Piutang seperti ini dikenai zakat, ditunaikan segera dengan harta yang dimiliki oleh orang yang memberi utang dan dikeluarkan setiap haul (setiap tahun).
2. Piutang yang sulit diharapkan untuk dilunasi karena diutangkan pada orang yang sulit dalam melunasinya. Piutang seperti ini tidak dikenai zakat sampai piutang tersebut dilunasi.[6]
[5] Lihat Az Zakat, 67.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/14-15.
2) PRODUKTIF
yaitu Termasuk harta yang berkembang. Yang dimaksudkan di sini adalah harta tersebut mendatangkan keuntungan dan manfaat bagi pemiliknya atau harta itu sendiri berkembang dengan sendirinya.
Oleh karena itu, para ulama membagi harta yang berkembang menjadi dua macam:
(a) harta yang berkembang secara hakiki (kuantitas), seperti harta perdagangan dan hewan ternak hasil perkembangbiakan,
(b) harta yang berkembang secara takdiri (kualitas).
Dalil dari syarat ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ
“Seorang muslim tidak dikenai kewajiban zakat pada budak dan kudanya.”[7]
Dari sini, maka tidak ada zakat pada harta yang disimpan semisal makanan yang disimpan, kendaraan pribadi, dan rumah pribadi.[8]
[7] HR. Bukhari no. 1464
[8] Lihat Az Zakat, 69-70.
3). SURPLUS DARI KEBUTUHAN PRIMER yaitu Harta yang merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, itulah sebagai barometer seseorang itu dianggap mampu atau berkecukupan.
Sedangkan harta yang masih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, maka seperti ini dikatakan tidak mampu.
4). MENCAPAI NISHOB adalah ukuran minimal suatu harta dikenai zakat. Untuk masing-masing jenis harta yang dikenai zakat, ada ketentuan nishob masing-masing yang sudah dijelaskan.
5). BEBAS DARI HUTANG
Hutang menghalangi kewajiban zakat secara mutlak, baik pada harta yang terlihat (zhâhirah) maupun harta yang tidak terlihat (Bâthinah), baik hutang itu telah jatuh tempo atau belum, baik hutang itu terkait hak Allâh Azza wa Jalla atau hak manusia, serta sejenis dengan harta yang wajib dizakati atau bukan.
Ini adalah pendapat (qaul qadim) Imam asy-Syâfi’i rahimahullah, dan riwayat paling shahih di kalangan Hanâbilah,.
Sebagian Ulama Syâfi’iyah dan Hanâbilah menetapkan syarat bahwa hutang yang menghalangi kewajiban zakat yaitu hutang yang jatuh tempo.[3]
Apabila dia tergolong orang mampu namun gemar mengulur-ulur pembayaran hutangnya, maka hutang tersebut tidak menghalangi atau tidak menggugurkan kewajiban zakat atasnya.
(1) Lihat al-Bayân karya al-Imrani 3/146 dan Raudhah ath-Thâlibîn 2/197.
[2] Lihat al-Mughni 4/263
[5] Lihat al-Hâwi 3/309 dan asy-Syarhul Kabîr 6/340.
6). BERLALU SATU TAHUN
Artinya harta yang dikenai zakat telah mencapai masa satu tahun atau 12 bulan Hijriyah.
Sedangkan untuk zakat hasil pertanian tidak ada syarat Haul. Zakat pertanian dikeluarkan setiap kali panen.
Lihat Az Zakat, 70-71