Terdapat khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama ataupun lembaga dakwah/fatwa dalam masalah zakat profesi. Ada sebagian yang membolehkan zakat profesi, seperti Syeikh Abdul Wahhab Khallaf, Syeikh Abu Zahrah, Yusuf Qaradhawi, Prof. Didin Hafidhuddin, Quraisy Syihab, Majelis Tarjih Muhammadiyah, MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Namun ada pula sebagian yang tidak setuju dan tidak membolehkan zakat profesi, dengan alasan utama bahwa zakat profesi tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW. Mereka misalnya Dr. Wahbah Az Zuhaili, Prof. Ali As Salus, Syeikh Bin Baz, Syeikh Muhammad bin Shaleh Utsaimin, Hai`ah Kibaril Ulama, Dewan Hisbah PERSIS, dan juga Bahtsul Masail NU. (lihat : Ahmad Sarwat, Zakat Profesi : Antara Penentang Dan Pendukung(Part 1)
Maqalaat Al Mutanawwi’ah, Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134, Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Ar Rasaa’il 18/178; Majmu’ Fatawa Haiah Kibaril Ulama Saudi Arabia, 9/281, fatwa no: 1360).
Bagi mereka yang membolehkan zakat profesi mempunyai dalil (landasan), antara lain sebagai berikut :
Pertama, menurut Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, landasan zakat profesi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat untukal-maal al-mustafaad (harta perolehan). Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta baru yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya.
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang mengeluarkan zakat dari al-maal al-mustafaad pada saat menerimanya, tanpa mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah).
Bahkan syaikh Yusuf Al-Qaradhawi melemahkan hadis yang mewajibkan haul bagi harta zakat, yaitu hadis Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Nabi SAW bersabda”Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu atasnya haul.” (HR Abu Dawud). Alasan Yusuf Qaradhawi menganggap lemah (dhaif) hadis tersebut, karena ada seorang periwayat hadis bernama Jarir bin Hazim yang dianggap periwayat yang lemah. (Yusuf Al-Qaradhawi, ibid., I/491-502; Wahbah az-Zuhaili, ibid., II/866).
Kedua, ulama lain menambahkan dalil lain dari yang telah dikemukakan Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi di atas, yaitu keumuman ayat ke-267 dari surat Al Baqarah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…” (QS Al Baqarah [2]:267)
Ada pula ulama yang menambah dalil lain lagi, yaitu surat Adz Dzariyat ayat ke-19 sebagai berikut :
وَفِى أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُوْمِ
“Dan pada harta-harta mereka, ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang menahan diri (daripada meminta).” (QS Adz Dzariyat [51]:19)
Analisis Kritis
Menurut analisis penulis,zakat profesi tidak mempunyai dalil yang kuat sehingga hukumnya tidak wajib. Argumentasi penulis adalah sebagai berikut :
Pertama, dalil utama dari zakat profesi adalah ijtihad sahabat mengenai al-maal al-mustafaad yang tidak mensyaratkan haul. Padahal ijtihad sahabat (mazhab al-shahabi) bukanlah dalil syariah yang kuat (mu’tabar). (Taqiyuddin an-Nabhani, al-Syakhshiyah al-Islamiyah, III/418).
Kedua, pendapat yang lebih kuat (rajih) mengenai al-maal al-mustafaad adalah pendapat jumhur ulama, yaitu harta tersebut tidak wajib dikeluarkan zakatnya, hingga memenuhi syarat berlalunya haul. Inilah pendapat sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Juga pendapat imam mazhab yang empat. (Al-Yazid Ar-Radhi, Zakah Rawatib Al-Muwazhaffin,hal.19; Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/866).
Ketiga, tidak tepat penilaian Al-Qaradhawi bahwa hadis tentang mencapai haul adalah hadis lemah (dhaif). Al-Qaradhawi sebenarnya mengikuti pendapat Imam Ibnu Hazm yang melemahkan hadis hauldari jalur Ali bin Abi Thalib RA, karena ada perawi bernama Jarir bin Hazim yang dinilai lemah. (Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, I/494; Ibnu Hazm, Al-Muhalla, VI/70). Padahal Ibnu Hazm telah meralat penilaiannya, dan lalu mengakui bahwa Jarir bin Hazim adalah perawi hadis yang sahih. (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, VI/74).
Keempat, ayat-ayat yang dikemukakan sebagai dalil zakat profesi sesungguhnya tidak tepat dan tidak dapat menjadi landasan zakat profesi. Mengapa? Sebab sungguhpun ayat-ayat tersebut mempunyai pengertian umum yang mewajibkan infaq (mengeluarkan harta), tapi keumumannya sudah dikhususkan dan dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi SAW. Dalam hal ini hadits-hadits Nabi SAW hanya menjelaskan ada 2 (dua) macam zakat saja, yaitu zakat fitrah, dan zakat maal yang meliputi 4 (empat) macam mal (harta), yaitu : zakat binatang ternak (zakat al mawasyi), zakat tanaman dan buah-buahan (zakat az zuruu’ wa ats tsimaar), zakat perdagangan (zakah at tijarah), dan zakat emas dan perak (zakah adz dzahab wa al fidhdhah) termasuk dalam hal ini zakat uang. Tidak ada satu pun dari hadits-hadits Nabi SAW yang mensyariatkan adanya zakat profesi.
Maka dari itu, berhujjah dengan keumuman ayat-ayat sebagai dasar zakat profesi tidak dapat diterima dan jelas tertolak, karena kaidah ushul fiqih menetapkan jika dalil yang umum sudah dikhususkan/dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi SAW, maka keumumannya tidak boleh lagi digunakan sebagai hujjah (landasan). Kaidah ushul fiqih tersebut berbunyi : al ‘aam yabqaa ‘ala ‘umuumihi maa lam yarid dalil at takhsis (dalil umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkan).
Kesimpulan Penulis, zakat profesi tidak wajib dalam Islam karena dalil-dalilnya sangat lemah. Maka uang hasil dari profesi yang dikeluarkan zakatnya setiap bulan, di anggap tidak sah / di anggap sedekah biasa,
Namun saran kami hasil dari zakat profesi / penghasilan, wajib digabungkan lebih dahulu dengan uang yang sudah dimiliki sebelumnya dengan cara ditabung / dikumpulkan.
Maka wajib dikeluarkan setelah uang gabungan itu mencapai nishab dan berlalu haul atasnya. (Ali as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 523).
Wallahu a’lam.