Jangan lupakan untuk menunaikan kewajiban yang belum terbayarkan, semisal hutang puasa tahun lalu yang belum diqadha atau dibayarkan fidyahnya.
Kabar baiknya, Rajab termasuk bulan haram, bulan yang sangat baik untuk memperbanyak puasa dan beragam amal saleh di dalamnya. Ada satu perkataan dari Imam Sufyan Ats-Tsauri bahwa, “Pada bulan-bulan haram (termasuk bulan Rajab), aku sangat senang untuk berpuasa di dalamnya.” (Lathaif Al-Ma’arif)
Fidyah puasa merupakan pengganti (badal) dari puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan, berupa memberi makan kepada orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 260).
Siapakah Yang Wajib Mengeluarkan Fidyah?
Menurut Syeikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah dalam kitabnya Al Jami’ li Ahkam As Shiyam,
Mereka yang wajib membayar fidyah ada tiga golongan;
Pertama, Orang-orang yang tak mampu berpuasa, yaitu laki-laki atau perempuan yang sudah lanjut usia yang tak mampu lagi berpuasa, dan orang sakit yang tak mampu berpuasa yang tak dapat diharapkan kesembuhannya.
Dalilnya firman Allah SWT (yang artinya), ”Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (maka jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (wa ‘alalladziina yuthiiquunahu fidyatun tha’aamu miskiin)
(QS Al Baqarah [2] : 184).
Ibnu Abbas ra menafsirkan ayat tersebut dengan berkata, ”Ayat tersebut tidaklah mansukh (dihapus hukumnya), tetapi yang dimaksud adalah laki-laki lanjut usia (al syaikh al kabiir) dan perempuan lanjut usia (al mar`ah al kabirah) yang tak mampu lagi berpuasa,
Maka keduanya memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Nasa`i, Daruquthni).
Kedua, Orang yang meninggal dalam keadaan mempunyai utang puasa yang wajib di-qadha`. Dalam hal ini hukumnya boleh, tidak wajib, bagi wali (keluarga) orang yang wafat tersebut untuk membayar fidyah.
Pihak wali (keluarga) dari Almarhum tersebut boleh memilih antara meng-qadha` puasa atau memilih membayar fidyah dari puasa yang ditinggalkan oleh Almarhum tersebut. Pendapat bolehnya membayar fidyah bagi orang yang mati, merupakan pendapat beberapa sahabat Nabi SAW, yaitu Umar bin Khaththab, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhum. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207).
Ketiga, Suami yang menggauli istrinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja dan tak mampu membayar kaffarah berupa puasa dua bulan berturut-turut. Suami ini wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin.
(HR Bukhari no 6164; Muslim no 2559). (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207).
Adapun bagi Perempuan Hamil dan Menyusui, juga orang yang menunda qadha` puasa hingga masuk Ramadhan berikutnya, menurut pendapat yang rajih, tak ada kewajiban fidyah atas mereka.
Mereka hanya diwajibkan meng-qadha` puasanya.
(Sumber Mushannaf Abdur Razaq, no 7564, Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hlm. 210, Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 872, Yusuf Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hlm. 64).