Ketika seseorang telah meragukan jaminan rezeki dari Allah, dia pun akan rela menghalalkan segala cara untuk meraih kenikmatan dunia. Dia tidak lagi peduli dengan halal haram, berani melakukan kemusyrikan, tega menzalimi orang lain, atau setidaknya berputus asa dari rahmat Allah Azza wa Jalla. Dan, sebelum sempat dia bertobat, kematian sudah datang menjemputnya. Alam kubur pun menjadi tempat yang teramat buruk baginya.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali, dalam kitab Minhajul ‘Abidin, berkisah tentang seorang nabbas (pencuri kain kafan di kuburan) yang bertobat di hadapan Abu Yazid Al-Busthami. Abu Yazid lalu bertanya kepadanya, “Syukurlah engkau mau bertobat. Tapi apa sebabnya?”
Orang ini menjawab, “Aku pernah menggali kuburan kurang lebih 1000 kali. Kebanyakan mayat di dalam kubur itu berpaling dari arah kiblat. Hanya ada dua mayat yang tetap menghadap kiblat.”
Berkatalah Abu Yazid, “Kasihan mereka! Keragu-raguan terhadap (jaminan) rezeki (dari Allah) telah memalingkan mereka dari kiblat.”
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang Nyata (Lauhul Mahfuzh).” (QS Hud, 11:6)
Maka, terkait dengan masalah rezeki, sikap berbaik sangka kepada Allah adalah hal yang layak untuk diutamakan. Sesungguhnya, ketika kita meragukan jaminan rezeki dari Allah, tanpa sadar kita telah meragukan kemahabesaran dan kemahapemurahan Allah Ta’ala. Ada satu nasihat yang disampaikan seniman Sujiwo Tejo, bahwa menghina atau menistakan Tuhan itu mudah, khawatir besok tidak bisa makan sudah termasuk penghinaan dan penistaan kepada-Nya.
Bukankah nikmat dari Allah tak sedetik pun menjauh dari kita, bahkan sejak di kita masih berada di dalam perut ibu sampai detik ini?
Ada satu tadzkirah sangat bagus, yang dinisbatkan kepada Makhul ra. dari Rasulullah ﷺ, sebagaimana dinukilkan Imam Ibnu Abi Hatim Ar-Razy dalam tulisannya (Tafsir Ibnu Abi Hatim, VII: 2227), yang layak untuk kita renungkan.
“Ingatlah, janin yang ada dalam perut ibunya. Tak meminta, tak bersedih, dan tak merasa cemas. Namun, rezekinya saat berada di perut sang ibu datang melalui darah haidhnya. Karenanya, perempuan hamil tidak ada yang haidh.
Kemudian, ketika si janin lahir ke dunia, dia menangis keras. Tangisannya itu karena mengingkari tempat barunya. Padahal, saat tali ari-arinya diputus, Allah mengalihkan rezekinya ke payudara ibunya. Dia pun makan melaluinya. Namun, di saat dewasa dia malah berkata, ‘Aku bisa mati, aku bisa terbunuh. Di manakah rezeki untukku’.”
Beliau melanjutkan, “Celakalah engkau, Allah telah menjamin makanmu, sejak kau berada dalam perut ibumu, saat kau masih kecil. Namun, ketika dewasa dan berakal sempurna, engkau justru berkata, ‘Aku bisa mati. Aku bisa terbunuh. Manakah rezeki untukku’.”
“Ingatlah bahwa, ‘Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya’.”
Maka, layak untuk kita pahami bahwa saat satu pintu rezeki tertutup, semisal pintu pekerjaan, Allah Ta’ala bukakan aneka jalan rezeki dari pintu-pintu lainnya. Di antara pintu-pintu tersebut, yang layak kita masuki, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran adalah pintu sedekah (QS Al-Baqarah, 2:245), pintu syukur (QS Ibrahim, 14:7); pintu istigfar (QS Nuh, 71:10-12). Bahkan, rezeki juga datang dari pintu pernikahan (QS An-Nur, 24:32); pintu karunia anak (QS Al-Isrâ’, 17:31), dan pintu yang tak disangka-sangka.
Adapun pintu rezeki yang tak disangka-sangka ini diperuntukkan bagi orang yang bertakwa, sebagaimana ayat, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Allah memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS Ath-Thalaq, 86:1-2)
Maka, tidak pantas bagi seorang beriman untuk nekat mencari rezeki yang telah Allah jamin dari jalan yang haram. Sesungguhnya, dia adalah sebentuk kebodohan, kesia-siaan dan bukti dari kegelapan mata hati. Dalam Kitab Al-Hikam, Imam Ibnu Ibnu Athaillah menuliskan:
اجتهادك فيما ضمن لك وتقصيرك فيما طلب منك دليل على انطماس البصيرة منك
“Kesungguhanmu dalam mengejar apa yang telah dijamin untukmu, dan kelalaianmu menunaikan kewajiban yang telah dituntut darimu adalah bukti rabunnya mata batinmu.”
Semoga informasi ini bermanfaat ya
Ingin berlangganan Tausiyah Harian dari Team Tasdiqul Quran?
HUBUNGI CHAT WA : 0812.2367.9144
Informasi Program Kunjungi Situs Resmi Kami :
www.dompetamal.com
www.blog.dompetamal.com
www.news.dompetamal.com
www.tasdiqulquran.or.id