Di antara penyakit yang kerap menghinggapi manusia adalah lupa akan aib diri dan ingat akan aib orang lain, malas menelisik aib diri dan senang menelisik aib orang lain, tidak mau tahu dengan keburukan diri dan sangat ingin tahu keburukan orang lain.
Apa akibatnya? Dia terhalang dari kebenaran, susah melakukan perbaikan, dan akhirnya mengalami kebangkrutan. Pahala amal kebaikannya habis sedangkan catatan keburukannya semakin menggunung.
Maka, Rasulullah ﷺ menasihatkan:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتاَبوُا الـْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تَتَّبِـعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَوْرَاتِهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ
“Wahai orang yang beriman dengan lisannya dan iman itu belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian mengghibah kaum Muslim dan jangan mencari-cari (mengintai) aib-aib mereka.
Karena, orang yang suka mencari-cari aib kaum Muslim, Allah akan mencari-cari (membuka) aibnya. Dan, siapa yang dicari-cari aibnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya di dalam rumahnya (walau dia tersembunyi dari pandangan manusia).” (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Maka, beruntunglah orang yang sibuk untuk menelisik aib diri daripada aib orang lain. Inilah awal baginya untuk meraih kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Pertanyaannya, bagaimana cara kita mengetahui aib-aib diri sehingga kita bisa bersegera untuk memperbaikinya? Imam Al-Ghazali memberikan empat formula jitu.
Pertama, duduklah di hadapan seorang guru yang tajam mata batinnya. Dalam arti, seorang guru diberi kemampuan oleh Allah Ta’ala untuk bisa mengetahui kekurangan yang ada serta memahami penyakit jiwa yang terselip dalam diri manusia.
Setelah mendapatkan diagnosis dari sang guru, kita harus menghakimi diri atas hadirnya aib untuk kemudian mengikuti petunjuk guru tentang bagaimana cara memperbaikinya.
Kedua, mencari sahabat yang jujur, teliti, taat dalam menjalankan perintah agama. Kita dapat menjadikannya sebagai orang yang setia memperhatikan tingkah laku kita dan siap menegur kita apabila ada salah.
Di sini kita bisa belajar dari Umar bin Khathab ra. yang mengatakan, “Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan aib diriku.” Maka, di antara kebiasaan Umar adalah bertanya kepada Salman Al-Farisi tentang aib dirinya, “Apa yang telah kamu dengar tentang diriku yang tidak kamu sukai?”
Salman merasa segan untuk mengatakannya sehingga Umar mendesaknya untuk berbicara. Maka, Salman pun berkata, “Aku mendengar bahwa engkau mengumpulkan dua macam kuah dalam satu hidangan dan engkau punya dua jubah: satu jubah untuk siang hari dan satu jubah lagi untuk malam hari.”
Umar bertanya, “Apakah ada lagi yang kamu dengar selama itu?”
Salman menjawab, “Tidak!”
Umar berkata, “Adapun dua hal itu maka akan aku meninggalkannya.”
Ketiga, mengambil pelajaran dan manfaat dari lisan orang-orang yang benci. Bukankah orang yang memendam kebencian pandangan akan lebih sensitif terhadap segala keburukan orang yang dibencinya? Maka, apa yang mereka ucapkan tentang kita adalah mutiara berharga untuk kita ambil sebagai bahan evaluasi diri.
Keempat, bergaul dengan orang lain dan berusaha untuk peka dengan beragam fenomena yang terjadi di sekitar kita. Maka, saat kita dia melihat aib (perbuatan tercela) orang lain, bersegeralah untuk introspeksi dan menisbatkannya dengan perbuatan diri (sehingga kita tidak melakukan keburukan serupa). Bukankah orang Mukmin itu adalah cermin bagi Mukmin lainnya?
Disarikan dari Tazkiyatun Nafs karya Syaikh Sa’id Hawwa dan lainnya.
Semoga informasi ini bermanfaat ya
Ingin berlangganan Tausiyah Harian dari Team Tasdiqul Quran?
HUBUNGI CHAT WA : 0812.2367.9144
Informasi Program Kunjungi Situs Resmi Kami :
www.dompetamal.com
www.blog.dompetamal.com
www.news.dompetamal.com
www.tasdiqulquran.or.id